Jumat, 11 Oktober 2013

MENGGUGAT KHUTBAH JUMAT

Jangan khawatir dengan kata menggugat. Ini cuma jurus koran kuning agar judulnya terlihat bombastis. Tenang saja, tidak ada soal penodaan agama kok. Ini sekedar catatan kecil soal khutbah Jum'at.

Alasan saya menyoroti ini adalah karena khutbah itu penting. Tidak sah sholat Jum'at jika tidak ada khutbah. Sayangnya fungsi vital ini malah terkesan sering dianggap sepele, baik oleh jamaah mau pun oleh khatib.

Waduh, berani-beraninya menuduh khatib tidak serius? Maaf, mari kita bicara fakta. Di sebagian besar masjid, khutbah Jum'at adalah bagian yang paling membosankan. Khatib berbicara dengan intonasi monoton dan datar, tidak berani menatap jamaah, dan sangat terpaku pada teks khutbah yang dipasok oleh Departemen Agama.

Dengan kondisi seperti ini, tak usah heran jika jamaah menganggap khutbah sebagai bagian yang membosankan. Selain kekurangtahuan bahwa menyimak khutbah adalah bagian dari ibadah sholat Jum'at, penyampaian khutbah yang tidak menarik juga punya andil besar. Silakan dicek, di bagian inilah para jamaah sering tertidur.

Maka, daripada melulu menyalahkan jamaah, ada baiknya soal penyampaian khutbah ini mendapat perhatian serius. Bukankah ceramah/khutbah yang menarik merupakan pintu masuk untuk meningkatkan pemahaman keagamaan umat? Maka menurut saya, mengubah kebiasaan jamaah tidur pada saat khutbah harus dimulai dari titik ini.

Ada dua hal utama yang bisa dilakukan untuk memperbaikinya:

  1. Pelatihan public speaking untuk para khatib.
  2. Ceramah/khutbah harus disampaikan dengan cara yang membuat orang tertarik. Setelah orang tertarik, baru isi ceramah bisa masuk dan bermanfaat bagi orang yang mendengarnya. Sayangnya cara berbicara di depan orang banyak itu tidak dimiliki setiap orang dan mau tidak mau harus dipelajari. Bagaimana mengatur intonasi supaya tidak monoton, bagaimana memberikan tekanan dengan gestur, bagaimana dan kapan sebaiknya melakukan kontak mata dan sebagainya. Selama ini yang saya temukan, terutama di masjid dekat rumah, khatib hanya membacakan teks khutbah. Tidak ada upaya untuk menyampaikan sesuatu. Tidak ada soal melibatkan emosi di dalam materi. Persis seperti dulu ketika kita disuruh menyanyi di depan kelas. Sekedar gugur kewajiban, titik.
  3. Materi khutbah yang ditulis secara profesional
  4. Di luar masalah cara penyampaian, materi khutbah juga tidak kalah penting. Materi yang membosankan, terlalu banyak 'pesan pembangunan' (terutama materi yang didrop dari Departemen Agama), membuat materi menjadi kering dan tidak menarik. Kalau memang harus didrop dari Depag, sebaiknya penulisan akhir materi dilakukan oleh penulis profesional. Tentu saja bahannya harus disiapkan oleh orang yang memahami dan mengerti ilmu agama.

Saya yakin dengan memperbaiki dua hal itu saja, khutbah tidak lagi menjadi sekedar kesempatan untuk tidur sambil duduk. Penceramah/khatib yang memikat, materi yang menarik, akan menjadikan khutbah sebagai sarana yang efektif untuk meningkatkan pemahaman keislaman. Dan untuk mewujudkan kondisi yang ideal itu perlu upaya yang serius.

Wah, itu kan perlu biaya. Uangnya dari mana? Percayalah, anggaran untuk sektor keagamaan itu belum digunakan secara maksimal dan tepat sasaran. Buktinya, masih sering kita dengar korupsi yang terjadi di departemen ini. Artinya, kalau uang untuk dikorupsi saja masih ada, apalagi untuk kemaslahatan umat. Itu pun kalau memang Departemen Agama mau menjalankan fungsinya dengan benar.

Ayo ah, biar nggak ngantuk...


P.S.: Jika ada waktu, saya masih punya beberapa tulisan lain untuk Anda: