Selasa, 08 Oktober 2013

KUCING VS PENGECUT

Kucing itu lucu. Dan kucing yang lucu tak harus kucing ningrat yang mahal. Kucing kampung juga lucu kok. Maka saya lebih memilih memelihara kucing kampung. Makannya tidak pilih-pilih, seadanya. Juga tak perlu perawatan khusus, dan itu artinya lebih hemat. Cocok banget buat saya.

Meski sejak kecil senang kucing, sebenarnya saya tidak pernah sengaja memelihara kucing. Nggak tahu kenapa, ke rumah selalu berdatangan kucing-kucing. Entah dari mana asal mereka, sebab kucing tak pernah punya KTP. Dikasih makan satu dua kali, eh malah betah. Ya sudah, tinggal di sini juga nggak apa-apa, nggak perlu bayar kontrakan. Asal mau seadanya, makan cukup pake tongkol, tidur di mana saja tinggal pilih. Tapi di luar saja ya, rumah soalnya penuh.

Karena mereka setuju, jadilah di rumah banyak kucing. Ada sekitar 10 ekor. Beranak pinak, dan kadang-kadang bawa temannya. Mungkin ketemu di tempat nongkrong atau semacamnya, saya tak tahu pasti. Numpang makan satu dua kali, lama-lama numpang tidur. Eh, lama-lama ada yang malah betah juga.

Makan teratur - minimal dua kali sehari - membuat mereka sehat-sehat. Meski bukan kucing gedongan, tampangnya lucu-lucu dan mulus-mulus lho. Kalau orang lain refreshing itu ngeliatin akuarium, saya cukup nonton kucing-kucing bercengkerama, dengan sesamanya tentu. Dan itu menyenangkan buat penyuka kucing.

Sayangnya tak semua orang suka kucing. Beberapa kali kucing saya pulang terpincang-pincang. Pernah ada yang patah tulang punggungnya, mungkin dipukul pake kayu atau sejenisnya. Untung sembuh dan tidak menjadi cacat.

Saya curiga kucing-kucing ini mungkin mencuri ikan dan ketahuan pemiliknya, lalu dipukul. Namanya juga kucing, naluri mereka soal berburu tetap ada meski cukup makan dan tidak hidup di alam liar. Sayang buruannya malah ikan mati punya orang. Orang yang nggak suka kucing pula.

Mengantisipasi ini saya ngomong ke tetangga-tetangga yang mungkin kehilangan ikan atau semacam itu, supaya menghubungi saya. Insya Allah saya ganti semampunya. Maksud saya supaya kucingnya nggak dipukul, kasihan kan. Lagipula mereka (kucing-kucing itu) kan nggak bisa ngasih ganti rugi.

Ternyata jurus saya nggak mempan. Selang beberapa hari, dua kucing saya pulang dengan sekujur tubuh penuh lem aibon. Dengan susah payah lem itu berhasil dibersihkan. Tapi tetap nggak ada yang melapor kehilangan ikan. Rupanya pelaku kekerasan terhadap kucing ini lebih memilih melakukan kesenangan mengerikannya daripada mendapat ganti rugi.

Puncaknya adalah tiga hari yang lalu. Tiga ekor kucing saya pulang dengan tiga hasil penganiayaan yang berbeda. Yang satu punggungnya bengkok dan susah duduk tegak. Yang kedua kaki kanannya luka dan ekornya hampir putus. Yang ketiga kaki depan sebelah kanannya patah, dan luka parah. Saya tidak tahu dengan cara apa kucing-kucing itu dianiaya. Entah dikasih perangkap, dipukul, dibacok, atau mungkin ketiga-tiganya.

Kasihan kucing-kucing itu masih kecil-kecil, lagi lucu-lucunya. Mudah-mudahan yang menganiaya kucing itu disadarkan bahwa ia bukan manusia pemberani. Kata lainnya adalah pengecut, chicken, coward. Kalau pemberani kan pasti memilih objek yang lebih sepadan, dan bukannya anak kucing. Tuh gebukin koruptor kalau emang berani!

Saya tak pernah tahu siapa pelaku penganiayaan kucing saya. Dan rasanya saya malah nggak berselera ketemu 'pemberani' semacam itu. Semoga kucing-kucing saya sembuh seperti sediakala. Kasihan, sebagian masa kecilnya terampas untuk menderita rasa sakit gara-gara dianiaya orang 'hebat' itu.

Cepet sembuh ya, meongs...


P.S.: Jika ada waktu, saya masih punya beberapa tulisan lain untuk Anda: