Sabtu, 05 Oktober 2013

PERSEPSI

Kenapa orang suka jengkol? Kenapa juga ada yang tidak suka? Kenapa ada orang miskin yang hidupnya terlihat bahagia? Kenapa ada orang kaya yang selalu terlihat kusut dan banyak masalah?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sering mengemuka. Objeknya sama, tetapi tanggapan orang beda-beda. Ketentuan Tuhan, kata teman saya yang lagi ogah mikir. Tentu saja semua adalah ketentuan Tuhan. Tapi pasti ada hukum sebab akibat di dalamnya. Kalau orang suka jengkol pasti ada sebabnya. Begitu juga sebaliknya.

Hanya saja orang kadang-kadang tidak mengerti apa penyebabnya. Pokoknya suka jengkol. Titik. Begitu katanya. Padahal penyebabnya adalah persepsi. Itu kata kuncinya.

Ketika mendengar kata jengkol, orang yang suka langsung mengasosiasikan otaknya dengan rasa jengkol, kenyalnya saat dikunyah, bahkan baunya yang menggoda menurut dia. Sebaliknya, orang yang benci jengkol langsung ingat bentuknya yang tidak menarik, rasanya yang nggak enak, dan baunya yang bikin enek.

Begitulah persepsi. Tidak ada kaitannya dengan soal kualitas atau soal baik buruk secara objektif. Seburuk apa pun sebuah objek, jika persepsi kita mengatakan baik, maka objek tersebut terlihat menyenangkan buat kita.

Saya tanya Anda, apa indahnya menutup telepon? Dalam kondisi biasa rasanya tak ada yang istimewa dengan hal itu. Tapi buat yang lagi pacaran, proses menutup telepon saja bisa menjadi peristiwa yang indah dan mendebarkan. Lagi-lagi soal persepsi.

"Udah malem yang, bobo gih..."
"Iiih... Aa mah gitu.. ntar dulu dong, kan masih kangeeen..."
"Yee... besok kan kamu ada kuliah, bobo ya sayaang... Udah, sekarang kamu tutup teleponnya yaa.. cantik..."
"Nggak ah, Aa aja yang nutup duluan.."
"Kamu dulu cinta..."
"Aaah... kok gitu sih...."

Dan diskusi soal siapa yang harus nutup telepon duluan ini bisa berlangsung berjam-jam, bahkan mungkin berhari-hari. Jijik kan?

Nah, di sinilah persepsi berperan. Soal sederhana seperti menutup telepon saja bisa menjadi sesuatu yang indah buat yang lagi jatuh cinta. Padahal buat kita yang lagi normal sama sekali nggak ada bagus-bagusnya.

Maka, soal indah dan tidak indah, soal bagus dan tidak bagus, soal nyaman dan tidak nyaman, soal senang dan tidak senang, adalah murni soal persepsi. Hidup jadi menyebalkan karena memang seperti itulah persepsi kita terhadap kehidupan. Jika dalam persepsi kita hidup itu menyenangkan, maka itulah yang terjadi.

Jadi ada baiknya kita mulai memperbaiki persepsi kita terhadap apa pun yang ada di sekitar kita. Berbaik sangka dalam persoalan apa pun akan membuat semuanya menjadi lebih mudah. Hidup akan jauh lebih menyenangkan ketika kita menyingkirkan segala persepsi buruk kita terhadap kehidupan.

Izinkan saya menutup tulisan ini dengan sebuah self-suggestion: "Ah, hidup ini memang indah...".


P.S.: Jika ada waktu, saya masih punya beberapa tulisan lain untuk Anda: