Selasa, 17 Desember 2013

CITA-CITA

Waktu kecil, pertanyaan standar yang biasa ditanyakan orang-orang dewasa kepada kita adalah soal cita-cita. Dan jawaban standar anak-anak adalah jadi dokter atau insinyur. Saya sendiri tidak tahu, kenapa bisa demikian. barangkali karena selama ini gelar dokter atau insinyur selalu identik dengan kemakmuran dan kekayaan. Entah apakah anak-anak jaman sekarang masih patuh dengan jawaban standar ini. Bisa ya, bisa tidak, karena sekarang ini untuk menjadi kaya tidak selalu harus menyandang dua gelar standar tersebut. Pemain sinetron, penyanyi (yang sukses), bahkan anggota dewan, adalah alternatif-alternatif baru yang bisa dipilih.

Meski pertanyaan dan jawaban tadi adalah sesuatu yang standar, namun tidak menjamin bahwa nasib orang juga standar dan - apalagi - seragam. Cita-cita yang terucapkan waktu kecil - yang kadang-kadang ngawur dan asal jawab - pada kenyataannya lebih sering tidak terwujud. Tentu banyak hal yang menjadi penyebabnya. Mungkin karena asal bunyi tadi, padahal cita-citanya bukan itu. Mungkin karena kesempatan untuk mewujudkan cita-citanya terganjal kenyataan kurangnya biaya. Mungkin juga karena sebenarnya tidak punya cita-cita.

Kenyataan memang tak selalu ramah. Apalagi untuk kita yang hidup di sebuah negeri serba tak pasti yang namanya Indonesia. Entah berapa banyak orang-orang pintar yang tersia-sia dan tak bisa memanfaatkan kepintarannya, hanya karena ketidakpastian itu. Dan sebaliknya, entah berapa banyak orang-orang bodoh yang punya posisi terhormat, tapi justru bingung harus berbuat apa, sehingga akhirnya hanya menjadi beban keuangan negara. Ini kalau kita bicara soal pegawai yang digaji oleh pemerintah.

Di sektor swasta juga tak jauh beda. Kesempatan berkarir di sektor ini juga masih lebih banyak ditentukan oleh selembar kertas yang namanya ijazah, dan bukan oleh skill. Persyaratan yang kerap menganjal semacam: minimal S1, usia maksimal 26, atau yang semacam itu, benar-benar menjadi penghalang bagi siapa pun untuk sekedar menunjukkan bahwa yang bersangkutan punya kapabilitas. Kalah sebelum bertanding, barangkali itu istilah yang tepat.

Maka, tidak perlu heran jika banyak mutiara yang terkubur debu. Mereka yang sesungguhnya dibutuhkan untuk membawa kemajuan bagi bangsa ini, terkubur dalam-dalam tanpa pernah mendapat kesempatan sama sekali untuk membuktikan kemampuannya. Dan cita-cita masa kecil, makin kecil juga kesempatannya untuk bisa terwujud dalam kenyataan. Maka, mungkin ada baiknya jika kita mulai mengajarkan jawaban standar yang 'lain' ketika anak-anak kita ditanya soal cita-cita. Bukan lagi jadi dokter, insinyur, atau yang semacam itu, melainkan: 'Gimana nanti aja deh..' Sebuah jawaban yang pasti dituding mengajarkan sikap pasrah, namun jelas-jelas lebih realistis!

Dari tulisan lama, 2008 - Tata Danamihardja


P.S.: Jika ada waktu, saya masih punya beberapa tulisan lain untuk Anda: